Sabtu, 15 Juli 2017

HIJAB, JALAN HIJRAHKU







HIJAB, JALAN HIJRAHKU




Oleh: Fitria Ningsih
 



               
“Hakikat sebuah kenikmatan dalam kehidupan adalah nikmat iman dan waktu. Paling tidak kita sudah benci maksiat, walau belum sempurna taat…”
               

Mensyukuri sebuah proses kehidupan seiring berjalannya waktu yang terus belalu memberikan sebuah makna keimanan yang semakin mantap dengan sebuah nur Illahi.
               
Begitu pula pengalaman hidayahku dalam proses berhijab. Mulai saat aku dibesarkan disebuah lingkungan yang cukup fanatisme dalam menjalankan aturan sang khaliq, sehingga setidaknya sedikit bekal sudah aku dapatkan tentang kewajiban menjadi seorang muslimah, walaupun belum sepenuhnya aku tahu seperti apa hakikat dalam menutup aurat yang benar.
               
Pada waktu itu, bagiku hijab adalah serangkaian busana ketika bepergian. Bongkar-pasang hijab dihadapan non-muhrim, bagiku sudah hal yang biasa. Bahkan ketika memasuki usia remaja, pemikiran yang masih labil ditambah dengan terkontaminasinya sebuah pergaulan, muncul keinginan tampil bak seorang yang modis dengan penampilan hijab yang hanya sekedar menutup kepala, tanpa mempedulikan bagaimana seharusnya berpakaian yang tidak menimbulkan fitnah lawan jenis.
               
Babak baru sebuah proses datangnya hidayah berhijab, mulai ketika aku memasuki sebuah jenjang pendidikan tinggi di sebuah kota besar. Pergaulan yang belum pernah aku kenal sebelumnya, membuatku hampir belum siap untuk memasukinya. Menjumpai fenomena hijab yang bermacam-macam, membuat hatiku bergumam dengan banyak spekulasi-spekulasi yang ada dalam pikiran. Namun kembali teringat akan pesan dari keluarga untuk tidak mengikuti aliran apapun dalam bersyariat. Tentu saja dengan bekal pemikiran itu, membuat aku menjadi seorang fanatis bahwa islam semacam diriku, inilah yang benar yang mesti dijalani.
               
Dengan idealismeku tersebut, membuat aku memicingkan mata bahkan membenci mereka-mereka yang berbeda denganku. Berbagai aktivitas keislaman banyak kujumpai di masjid maupun kampus tempatku tempatku menimba ilmu. Namun hal tersebut belumlah membuatku tergugah, atau bahkan hanya sekedar mengacungkan jempolpun tidak, yang ada dalam benakku hanyalah sesuatu hal aneh yang berbeda dengan umumnya yang ada di lingkungan tempat tinggalku.
               
Dalam banyak macam komunitas pergaulan yang aku temui, aku terus melangkah mencari kenyamanan dan kebahagiaan untuk sebuah penyesuaian diri maupun pencarian jati diri. Mencoba menemukan diriku yang sebenarnya dari satu  komunitas ke komunitas yang lain. Tak luput dari sebuah pergaulan anak muda, akupun mulai tertarik dengan penawaran-penawaran untuk mengikuti kegiatan ekstra tanpa mempertimbngkan bagaimana adab-adab seorang muslimah harus bergaul.
               
Pergaulan campur-baur lawan-jenis dalam kegiatan tersebut, membuat semangat tersendiri untukku, bahkan hampir saja aku terjerembab dalam pergaulan yang namanya pacaran. Namun, sebuah syukur terus kuucapkan sampai saat ini karena Allah menyayangiku. Tuhan semesta alam telah menunjukkan jalannya untukku dengan caranya yang sangat apik, aku dijauhkan dari komunitas itu. Meskipun begitu, aku masih seperti biasanya dengan masih berhura-hura layaknya seorang remaja yang mencari jati diri. Kali ini aku lagi-lagi dihadapkan dengan komuitas masjid kampus, aku menjadi objek dari sasaran dakwah mereka.Hal tersebut tidak lantas membuatku tertarik, bahkan terkadang tanpa sadar dibelakang mencemoohnya dan menjadikan bahan perbincangan diantara kami, para mahasiswa baru.
               
Masih teringat dibenakku ketika di tengah obrolan kami, terlontar pertanyaan seorang teman. “Kamu pasti, suatu saat ingin punya suami seperti Mas-mas di masjid itu, ya?” Dengan lantang kujawab,  “Ya enggaklah, aneh”. Sebuah jawaban yang polos dariku, namun mengandung makna yang jelas bahwa saat itu pemikiranku benar-benar tertutup untuk menerima hal-hal yang baru tentang islam.
               
Perjalanan hidupku mulai menunjukan kearah yang lebih baik, ketika aku harus pindah ketempat kos yang baru, karena menurutku, keamanan di kos lama sudah tidak kondusif. Saat itu aku merasa kebingungan, kemana harus melangkah mencari tempat kos yang baru. Namun Allah memang Maha Penyayang, ditengah kesulitan tersebut, ada seorang perempuan yang menawariku untuk tinggal di kontrakan depan masjid. Tanpa berpikir panjang, aku langsung menerima tawarannya.
               
Kontrakan yang sangat sempit dan sangat sederhana. Bagiku ini memberikan sebuah arti kesederhanaan tanpa fasilitas apapun, dan hanya dengan luas ruangan yang hanya beberapa meter, cukup untuk tidur dan kamar belakang. Tidur beralaskan tikar dengan tumpukan baju di kanan-kiri karena tidak tersedianya lemari. Bahkan terkadang harus lari terbirit-birit, karena sering kali ada tikus jatuh dari atap yang sudah usang.
               
Meskipun begitu, ternyata dari sinilah aku mulai menemukan jati diri. Merasakan kedamaian bersama teman-teman yang ada dikontrakan ini. Mereka memperlakukanku dengan baik, layaknya seorang adik. Walaupun aku adalah seorang perempuan yang masih awam dalam hal busana maupun keseharian, berbeda dengan mereka, yang sudah berhijab sesuai syariat. Saat itu aku tersadar dan ingin kukatakan pada semuanya bahwa mereka yang telah berbaik hati padauk, adalah orang-orang yang selama ini aku benci.
               
Mereka adalah para aktivis dakwah masjid kampus yang selama ini aku jauhi apabila mereka mendekati kami, para mahasiswa baru. Lama kelamaan kebencianku pada komunitas mereka mulai terkikis. Hari demi hari kedekatanku bersama teman-teman kontrakan mulai terasa.  Mereka sedikit demi sedikit secara tidak langsung memberikan contoh kepadaku: bagaimana berhijab yang benar, ataupun bagaimana bersikap yang benar, sesuai dengan Al-Quran dan hadist. Aku mulai terbiasa mendengar sederet rutunitas  kegiatan dakwah mereka. Sebutan akhwat  untuk perempuan, ataupun ikhwan untuk laki-laki sudah tidak asing bagiku. Namun perjalanan hidayahku tidak sampai disini, karena waktu itu aku belumlah termasuk orang-orang yang bisa mengambil hikmah dari sebuah teladan yang ada. Aku masih tetap seperti dahulu, dengan pakaian hijab yang menyerupai laki-laki, belum sesuai syariat, ataupun masih suka pergaulan pada umumnya.
               
Segala yang ada di hadapanku belum mengubahku secara kaffah, dengan perasaanku yang masih labil, dengan kadar keimanan yang sering turun, sehingga aku masih terbiasa dengan hal-hal kehidupan duniawi yang jahil, tanpa mempertimbangkan kehidupan akhirat.
               
Dalam kehidupan lingkungan kontrakanku yang  penuh dengan nuansa islami tersebut, aku termasuk penghuni kontrakan yang lengkap dibekali fasilitas oleh orangtuaku dari pada teman-temanku yang lain. Termasuk alat komunikasi  berupa HP yag saat itu masih jarang dipunyai oleh teman-teman di kosanku. Saling meminjam barang barang milik, bagi kami sudah biasa, karena merasa senasib dan jauh dari orang tua, termasuk hanphone milikku paling laris dipinjam.
               
Pada suatu ketika, salah seorang dari temanku meminjam hanphone dengan gaya gojeknya. “Dek, saya nitip nomerHP temen saya, ya? Namanya Supri, tolong  jaga nomer ini, jangan macam-macam, lho! Ini nomer ikhwan satu kampus dengan saya plus satu daerah dengan saya.” Aku hanya tersenyum dan menganggukan kepala. “Ya iyalah, Mbak! Ngapain macem-macem, kenal juga tidak.” Hemmmm, dalam benakku masih juga tersimpul pertanyaan untuk diriku sendiri. “Ngapain juga berurusan dengan yang namanya ikhwan, bukannya dari dulu aku anti dengan mereka-mereka yang berlebel ikhwan”.
               
Singkat kata, biasanya waktu istrahat aku gunakan untuk bermain handphone. Tanpa ku ketahui ternyata pengaturan HP-ku keliru, sehingga tanpa sengaja aku menulis kata-kata jahat: sialan. Segera saja aku ingin menghapusnya, tapi yang ada aku malah mengirimkannya kenomer ikhwan Supri. Dalam waktu singkat, tentu saja SMS-ku membuat sang Ikhwan membalas dengan nada yang tegas. Dengan karakterku yang menurutku cukup berani, waktu itu tanpa basa-basi aku balik dengan menelponya. Namun yang ada bukan malah menyelesaikan tetapi sebuah kesalahpahaman. Kejadian ini cukup membuat pikiranku terganggu. Akhirnya aku menceritakan kepada teman yang telah menitipkan nomer ikhwan tersebut kepadaku.
               
“Ya sudah, Dek, tidak apa-apa. Besok biar Mbak jelaskan ke ikhwan-nya.” Jawaban ini yang membuat hatiku lega. Berganti hari, aku tidak tahu menunggu-nunggu kepulangan Mbak kosku dari kampus, yang jelas aku ingin segera mendengar cerita yang dibawanya. Tak berselang berapa lama, datanglah yang kutunggu dengan wajahnya yang berbingar.
               
“Tenang saja, Dek. Ikhawan-nya sudah memahami, kok, dan sudah memaafkanmu.” Senyum lebar dari wajahku, tanpa terasa obrolan kami sampai membicarakan perihal ikhwan tersebut. “Emmm, jadi dia seorang aktivis dakwah, ya Mbak? Dan seorang yang pemaaf juga, ya? Hehehe.” Lontarku sebagai kalimat penutup obrolan kami.

Amatlah benar dalam sebuah hadist dikatakan, ”Janganlah terlalu membenci, bisa jadi suatu saat engkau akan mencintainya. Dan janganlah terlalu mencintai seseorang , bisa jadi suatu saat akan berubah menjadi kebenciaan.”
               
Setelah mendengar perihal ikwan tersebut dari teman kosku, entah mengapa, ada sedikit rasa simpatiku kepada ikhwan itu. Aku merasa dia adalah sosok seorang kakak laki-laki bagiku. Tanpa terasa, berhari-hari dia berada dalam benakku hingga akhirnya dengan berani aku menelponnya. Dengan tanpa rasa malu, aku memintanya untuk menjadi seoarang kakak angkatku. Komunikasi itu membuat pikiranku menggelayut  mencari jawaban: apakah ini yang namanya persaudaraan? Atau ini yang namanya cinta?
               
Aku merasa salah tingakah sendiri, walaupun ikhwan yang belum pernah kulihat tersebut tidak terlalu menanggapi permintaanku tersebut, dan hanya menganggap sebuah angin lalu. Sebuah asumsi tiba-tiba muncul dalam hatiku, “Kalau seorang ikhwan pasti sukanya juga dengan seorang akhwat yang berjilbab syar’i.” Hemmm, sedangkan aku masih sering melepas jilbab. Aktivis dakwah juga bukan!
               
Semenjak itu diam-diam aku mulai memperhatikan secara serta-merta kebiasaan-kebiasaan untuk menjadi seorang akhwat. Ternyata harapanku sampai pada sebuah harapan yang belum semestinya aku pikirkan. Aku ingin menjadi pendampingnya. Semenjak itu, aku bertekad untuk selalu berada diantara para akhwat, supaya aku tetap bisa sejajar dengan ikhwan tersebut. Dengan niat bukan karena Allah, tetapi hanya karena seorang lelaki, aku mulai konsisten memakai jilbab. Sebuah rutinitas yang belum pernah kulakukan, aku mulai rajin mengikuti kajian di kampus dengan harapan bisa bertemu dengan seseorang yang telah menjadi dambaanku tersebut.

Dalam beberapa lamanya waktu, aku berproses menjadi seorang yang berhijab dengan niatan yang masih berkubang bukan karena Allah. Aku belum menemukan sebuah kebenaran yang sesungguhnya benar-benar muncul dariku, yang ada adalah sebuah kepura-puraan untuk melakukan kebaikan.
               
Namun sebuah hidayah yang tak pernah aku lupakan, saat aku harus berpindah kontrakan lagi. Aku dipertemukan kembali dengan kontrakan para akhwat. Dalam lingkungan ini, aku benar-benar mendapatkan pembelajaran yang sangat berharga untuk bekal dunia akhiratku ke depan. Pada suatu Ramadhan, sudah menjadi tradisi teman-temanku untuk I’tikhaf di sepuluh hari terakhir, dibulan Ramadhan. Hingga akhirnya, mau tidak mau, akupun harus mengikutinya.
               
Sebuah pengalaman religi yang luar biasa, tausyiah demi tausyiah dari para ustadz menjelang berbuka sampai melaksanakan solat malam bersama menjadi sebuah cahaya baru untukku hingga akhirnya tetes air mata taubat, tanpa terasa meleleh di pipiku. Ya Allah, ternyata selama ini aku salah. Ampuni aku, Ya Rabb, selama ini aku berubah menjadi baik bukan karena-Mu, tetapi hanya karena seorang ikhwan. Sungguh aku telah menduakan-Mu. Jalan hidayah yang beraneka, terkadang dosa adalah awal dari proses kita untuk menjadi baik. Kini, aku benar-benar menyadarinya…

~


Tidak ada komentar:

Posting Komentar