HIJAB, JALAN HIJRAHKU
Oleh: Fitria Ningsih
“Hakikat sebuah kenikmatan dalam kehidupan adalah nikmat iman dan waktu.
Paling tidak kita sudah benci maksiat, walau belum sempurna taat…”
Mensyukuri sebuah proses kehidupan seiring berjalannya waktu yang terus
belalu memberikan sebuah makna keimanan yang semakin mantap dengan sebuah nur
Illahi.
Begitu pula pengalaman hidayahku dalam proses berhijab. Mulai saat aku
dibesarkan disebuah lingkungan yang cukup fanatisme dalam menjalankan aturan sang
khaliq, sehingga setidaknya sedikit bekal sudah aku dapatkan tentang kewajiban
menjadi seorang muslimah, walaupun belum sepenuhnya aku tahu seperti apa
hakikat dalam menutup aurat yang benar.
Pada waktu itu, bagiku hijab adalah serangkaian busana ketika
bepergian. Bongkar-pasang hijab dihadapan non-muhrim, bagiku sudah hal yang
biasa. Bahkan ketika memasuki usia remaja, pemikiran yang masih labil ditambah
dengan terkontaminasinya sebuah pergaulan, muncul keinginan tampil bak seorang
yang modis dengan penampilan hijab yang hanya sekedar menutup kepala, tanpa
mempedulikan bagaimana seharusnya berpakaian yang tidak menimbulkan fitnah
lawan jenis.
Babak baru sebuah proses datangnya hidayah berhijab, mulai ketika aku
memasuki sebuah jenjang pendidikan tinggi di sebuah kota besar. Pergaulan yang
belum pernah aku kenal sebelumnya, membuatku hampir belum siap untuk memasukinya.
Menjumpai fenomena hijab yang bermacam-macam, membuat hatiku bergumam dengan
banyak spekulasi-spekulasi yang ada dalam pikiran. Namun kembali teringat akan
pesan dari keluarga untuk tidak mengikuti aliran apapun dalam bersyariat. Tentu
saja dengan bekal pemikiran itu, membuat aku menjadi seorang fanatis bahwa
islam semacam diriku, inilah yang benar yang mesti dijalani.
Dengan idealismeku tersebut, membuat aku memicingkan mata bahkan
membenci mereka-mereka yang berbeda denganku. Berbagai aktivitas keislaman
banyak kujumpai di masjid maupun kampus tempatku tempatku menimba ilmu. Namun
hal tersebut belumlah membuatku tergugah, atau bahkan hanya sekedar
mengacungkan jempolpun tidak, yang ada dalam benakku hanyalah sesuatu hal aneh
yang berbeda dengan umumnya yang ada di lingkungan tempat tinggalku.
Dalam banyak macam komunitas pergaulan yang aku temui, aku terus
melangkah mencari kenyamanan dan kebahagiaan untuk sebuah penyesuaian diri
maupun pencarian jati diri. Mencoba menemukan diriku yang sebenarnya dari
satu komunitas ke komunitas yang lain.
Tak luput dari sebuah pergaulan anak muda, akupun mulai tertarik dengan
penawaran-penawaran untuk mengikuti kegiatan ekstra tanpa mempertimbngkan
bagaimana adab-adab seorang muslimah harus bergaul.
Pergaulan campur-baur lawan-jenis dalam kegiatan tersebut, membuat
semangat tersendiri untukku, bahkan hampir saja aku terjerembab dalam pergaulan
yang namanya pacaran. Namun, sebuah syukur terus kuucapkan sampai saat ini
karena Allah menyayangiku. Tuhan semesta alam telah menunjukkan jalannya
untukku dengan caranya yang sangat apik, aku dijauhkan dari komunitas itu.
Meskipun begitu, aku masih seperti biasanya dengan masih berhura-hura layaknya
seorang remaja yang mencari jati diri. Kali ini aku lagi-lagi dihadapkan dengan
komuitas masjid kampus, aku menjadi objek dari sasaran dakwah mereka.Hal tersebut tidak lantas membuatku tertarik, bahkan terkadang tanpa
sadar dibelakang mencemoohnya dan menjadikan bahan perbincangan diantara kami,
para mahasiswa baru.
Masih teringat dibenakku ketika di tengah obrolan kami, terlontar
pertanyaan seorang teman. “Kamu pasti, suatu saat ingin punya suami seperti
Mas-mas di masjid itu, ya?” Dengan lantang kujawab, “Ya enggaklah, aneh”. Sebuah jawaban yang
polos dariku, namun mengandung makna yang jelas bahwa saat itu pemikiranku
benar-benar tertutup untuk menerima hal-hal yang baru tentang islam.
Perjalanan hidupku mulai menunjukan kearah yang lebih baik, ketika aku
harus pindah ketempat kos yang baru, karena menurutku, keamanan di kos lama
sudah tidak kondusif. Saat itu aku merasa kebingungan, kemana harus melangkah mencari
tempat kos yang baru. Namun Allah memang Maha Penyayang, ditengah kesulitan
tersebut, ada seorang perempuan yang menawariku untuk tinggal di kontrakan
depan masjid. Tanpa berpikir panjang, aku langsung menerima tawarannya.
Kontrakan yang sangat sempit dan sangat sederhana. Bagiku ini
memberikan sebuah arti kesederhanaan tanpa fasilitas apapun, dan hanya dengan
luas ruangan yang hanya beberapa meter, cukup untuk tidur dan kamar belakang.
Tidur beralaskan tikar dengan tumpukan baju di kanan-kiri karena tidak
tersedianya lemari. Bahkan terkadang harus lari terbirit-birit, karena sering
kali ada tikus jatuh dari atap yang sudah usang.
Meskipun begitu, ternyata dari sinilah aku mulai menemukan jati diri. Merasakan
kedamaian bersama teman-teman yang ada dikontrakan ini. Mereka memperlakukanku
dengan baik, layaknya seorang adik. Walaupun aku adalah seorang perempuan yang
masih awam dalam hal busana maupun keseharian, berbeda dengan mereka, yang
sudah berhijab sesuai syariat. Saat itu aku tersadar dan ingin kukatakan pada
semuanya bahwa mereka yang telah berbaik hati padauk, adalah orang-orang yang
selama ini aku benci.
Mereka adalah para aktivis dakwah masjid kampus yang selama ini aku
jauhi apabila mereka mendekati kami, para mahasiswa baru. Lama kelamaan
kebencianku pada komunitas mereka mulai terkikis. Hari demi hari kedekatanku
bersama teman-teman kontrakan mulai terasa.
Mereka sedikit demi sedikit secara tidak langsung memberikan contoh
kepadaku: bagaimana berhijab yang benar, ataupun bagaimana bersikap yang benar,
sesuai dengan Al-Quran dan hadist. Aku mulai terbiasa mendengar sederet
rutunitas kegiatan dakwah mereka.
Sebutan akhwat untuk perempuan,
ataupun ikhwan untuk laki-laki sudah tidak asing bagiku. Namun
perjalanan hidayahku tidak sampai disini, karena waktu itu aku belumlah
termasuk orang-orang yang bisa mengambil hikmah dari sebuah teladan yang ada.
Aku masih tetap seperti dahulu, dengan pakaian hijab yang menyerupai laki-laki,
belum sesuai syariat, ataupun masih suka pergaulan pada umumnya.
Segala yang ada di hadapanku belum mengubahku secara kaffah,
dengan perasaanku yang masih labil, dengan kadar keimanan yang sering turun,
sehingga aku masih terbiasa dengan hal-hal kehidupan duniawi yang jahil, tanpa
mempertimbangkan kehidupan akhirat.
Dalam kehidupan lingkungan kontrakanku yang penuh dengan nuansa islami tersebut, aku
termasuk penghuni kontrakan yang lengkap dibekali fasilitas oleh orangtuaku
dari pada teman-temanku yang lain. Termasuk alat komunikasi berupa HP yag saat itu masih jarang dipunyai
oleh teman-teman di kosanku. Saling meminjam barang barang milik, bagi kami
sudah biasa, karena merasa senasib dan jauh dari orang tua, termasuk hanphone
milikku paling laris dipinjam.
Pada suatu ketika, salah seorang dari temanku meminjam hanphone dengan
gaya gojeknya. “Dek, saya nitip nomerHP temen saya, ya? Namanya Supri,
tolong jaga nomer ini, jangan
macam-macam, lho! Ini nomer ikhwan satu kampus dengan saya plus satu daerah
dengan saya.” Aku hanya tersenyum dan menganggukan kepala. “Ya iyalah, Mbak!
Ngapain macem-macem, kenal juga tidak.” Hemmmm, dalam benakku masih juga
tersimpul pertanyaan untuk diriku sendiri. “Ngapain juga berurusan dengan yang
namanya ikhwan, bukannya dari dulu aku anti dengan mereka-mereka yang berlebel
ikhwan”.
Singkat kata, biasanya waktu istrahat aku gunakan untuk bermain
handphone. Tanpa ku ketahui ternyata pengaturan HP-ku keliru, sehingga tanpa
sengaja aku menulis kata-kata jahat: sialan. Segera saja aku ingin
menghapusnya, tapi yang ada aku malah mengirimkannya kenomer ikhwan Supri.
Dalam waktu singkat, tentu saja SMS-ku membuat sang Ikhwan membalas dengan nada
yang tegas. Dengan karakterku yang menurutku cukup berani, waktu itu tanpa
basa-basi aku balik dengan menelponya. Namun yang ada bukan malah menyelesaikan
tetapi sebuah kesalahpahaman. Kejadian ini cukup membuat pikiranku terganggu.
Akhirnya aku menceritakan kepada teman yang telah menitipkan nomer ikhwan
tersebut kepadaku.
“Ya sudah, Dek, tidak apa-apa. Besok biar Mbak jelaskan ke ikhwan-nya.”
Jawaban ini yang membuat hatiku lega. Berganti hari, aku tidak tahu
menunggu-nunggu kepulangan Mbak kosku dari kampus, yang jelas aku ingin segera
mendengar cerita yang dibawanya. Tak berselang berapa lama, datanglah yang
kutunggu dengan wajahnya yang berbingar.
“Tenang saja, Dek. Ikhawan-nya sudah memahami, kok, dan sudah
memaafkanmu.” Senyum lebar dari wajahku, tanpa terasa obrolan kami sampai
membicarakan perihal ikhwan tersebut. “Emmm, jadi dia seorang aktivis dakwah,
ya Mbak? Dan seorang yang pemaaf juga, ya? Hehehe.” Lontarku sebagai kalimat
penutup obrolan kami.
Amatlah benar dalam sebuah hadist dikatakan, ”Janganlah terlalu
membenci, bisa jadi suatu saat engkau akan mencintainya. Dan janganlah terlalu
mencintai seseorang , bisa jadi suatu saat akan berubah menjadi kebenciaan.”
Setelah mendengar perihal ikwan tersebut dari teman kosku, entah
mengapa, ada sedikit rasa simpatiku kepada ikhwan itu. Aku merasa dia adalah
sosok seorang kakak laki-laki bagiku. Tanpa terasa, berhari-hari dia berada
dalam benakku hingga akhirnya dengan berani aku menelponnya. Dengan tanpa rasa
malu, aku memintanya untuk menjadi seoarang kakak angkatku. Komunikasi itu
membuat pikiranku menggelayut mencari
jawaban: apakah ini yang namanya persaudaraan? Atau ini yang namanya cinta?
Aku merasa salah tingakah sendiri, walaupun ikhwan yang belum pernah
kulihat tersebut tidak terlalu menanggapi permintaanku tersebut, dan hanya
menganggap sebuah angin lalu. Sebuah
asumsi tiba-tiba muncul dalam hatiku, “Kalau seorang ikhwan pasti sukanya juga
dengan seorang akhwat yang berjilbab syar’i.” Hemmm, sedangkan aku masih sering
melepas jilbab. Aktivis dakwah juga bukan!
Semenjak itu diam-diam aku mulai memperhatikan secara serta-merta
kebiasaan-kebiasaan untuk menjadi seorang akhwat. Ternyata harapanku sampai
pada sebuah harapan yang belum semestinya aku pikirkan. Aku ingin menjadi
pendampingnya. Semenjak itu, aku bertekad untuk selalu berada diantara para
akhwat, supaya aku tetap bisa sejajar dengan ikhwan tersebut. Dengan niat bukan
karena Allah, tetapi hanya karena seorang lelaki, aku mulai konsisten memakai
jilbab. Sebuah rutinitas yang belum pernah kulakukan, aku mulai rajin mengikuti
kajian di kampus dengan harapan bisa bertemu dengan seseorang yang telah
menjadi dambaanku tersebut.
Dalam beberapa lamanya waktu, aku berproses menjadi seorang yang berhijab dengan niatan yang masih berkubang bukan karena Allah. Aku belum menemukan sebuah kebenaran yang sesungguhnya benar-benar muncul dariku, yang ada adalah sebuah kepura-puraan untuk melakukan kebaikan.
Dalam beberapa lamanya waktu, aku berproses menjadi seorang yang berhijab dengan niatan yang masih berkubang bukan karena Allah. Aku belum menemukan sebuah kebenaran yang sesungguhnya benar-benar muncul dariku, yang ada adalah sebuah kepura-puraan untuk melakukan kebaikan.
Namun sebuah hidayah yang tak pernah aku lupakan, saat aku harus
berpindah kontrakan lagi. Aku dipertemukan kembali dengan kontrakan para
akhwat. Dalam lingkungan ini, aku benar-benar mendapatkan pembelajaran yang
sangat berharga untuk bekal dunia akhiratku ke depan. Pada suatu Ramadhan,
sudah menjadi tradisi teman-temanku untuk I’tikhaf di sepuluh hari terakhir,
dibulan Ramadhan. Hingga akhirnya, mau tidak mau, akupun harus mengikutinya.
Sebuah pengalaman religi yang luar biasa, tausyiah demi tausyiah dari
para ustadz menjelang berbuka sampai melaksanakan solat malam bersama menjadi
sebuah cahaya baru untukku hingga akhirnya tetes air mata taubat, tanpa terasa
meleleh di pipiku. Ya Allah, ternyata
selama ini aku salah. Ampuni aku, Ya Rabb, selama ini aku berubah menjadi baik
bukan karena-Mu, tetapi hanya karena seorang ikhwan. Sungguh aku telah
menduakan-Mu. Jalan hidayah yang beraneka, terkadang dosa adalah awal dari
proses kita untuk menjadi baik. Kini, aku benar-benar menyadarinya…
~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar