PADA
SEBUAH ANGKOT
Oleh: Yean H. De
Prak...prak...prak,
derap langkah tegap tujuh pria berjajar serempak, memenuhi hingga garis tengah
jalan raya arah Nagrag Tarogong ke Simpang Cipanas, Garut. Sore itu semua
mereka berseragam dongker dengan logo “C” di dada, sepertinya baru pulang
kerja. Walaupun memang rata-rata mereka itu jauh dari tampan, tapi terlihat
sangat percaya diri. Namun, klakson bus Mios telah memporak-porandakan rasa
percaya diri dan mengagetkan mereka. Malahan telah membuyarkan formasi barisan.
Dengan wajah bersemu merah, mereka berlarian ke arah angkot 04 warna coklat
muda. Tujuh pria aneh yang setiap harinya berdinas di puncak Darajat itu,
memasuki angkot menuju Pengkolan, Garut.
Di bangku depan, duduk
seorang bapak. Sedangkan di bangku samping yang lebih panjang, duduk dua ibu
tua. Maka para tokoh kita, yaitu: Bisuang, Yosep, Komar, dan Dindin, hanya
duduk di bangku deretan lebih pendek. Sedangkan Dikdik, Ujang dan Endang
mengisi bangku deretan yang telah diduduki dua ibu-ibu tua tsb. Praktis hanya
menyisakan 2 seat saja, lalu angkot melaju.
Di depan Toserba Aladin
naik seorang ABG manis berpakaian berani. Kemudian duduk tepat disebelah Ujang
yang lantas jadi gelagapan. Pria dingin asal Cimahi ini, wajahnya jadi berbinar
cerah. Operator muda yang terlihat lebih matang dari usia yang sebenarnya ini,
memandang takjub kearah si ABG yang mengingatkan kita pada artis Paramitha
Rusadi. Didalam hati, Ujang mulai memupuk harapan dan dengan tekad bulat ia
membathin: “Wanita inikah yang akan mendampingiku hingga pensiun?”
“Sudah masuk nggak?”
suara serak Bisuang yang berbadan ekstra, membunuh lamunan. Tidak ada yang
menimpali. “Tapi saya yakin kok”, kembali dia berujar sambil menyeka liurnya
yang berhamburan. Lantas, Dindin membalas: “Pasti”, lalu menyeringai
memperlihatkan deretan giginya yang besar-besar. Seperti biasanya, kelompok
pencinta alam ini ke BNI Cabang Kota untuk mengambil ‘jerih bulanan’ mereka.
Bisuang tenggelam dalam
obrolan seru. Adapun Komar, sejak mulai naik hanya diam menatap kosong kedepan
tanpa berkedip. Sedangkan Ujang senantiasa tetap mempertahankan senyum,
berupaya tampak tampan. Sesekali menjilati bibirnya supaya terlihat segar.
Patut dihargai upayanya yang tak kenal lelah berjuang menarik perhatian si ABG.
Sayang sekali, belum membuahkan hasil yang memadai. “Maenkan bleh…!” desah
parau Yosep menyokong mitra kerjanya itu.
Tidak lama kemudian di
depan RM Minang Meriah, naik seorang pemuda berkaca mata hitam. Kembali Ujang,
sang tokoh sentral kita kali ini, gelagapan. Hal itu dikarenakan si pemuda
gagah tersebut duduk dengan tenang persis di sebelah sang ABG. Lantas Ujang
mengumpat dalam hati: “Sialan, ada rival nih....”
Angkot kembali melaju.
Barisan Bisuang tidak lepas dari pembicaraan tentang tingginya harga sembako.
Komar masih tetap diam menatap pias. Namun angkot terus melaju tanpa hambatan.
Sementara itu, Ujang tetap murung memperlihatkan wajah aslinya. Kini dia
kehilangan gairah dan tidak lagi pasang aksi senyum, karena merasa kalah pamor
dengan sang pemuda trendy itu. Si pemuda hanya acuh saja. Suasana di dalam
angkot tidak lagi riuh. Terutama bagi Ujang.
“Entong kitu atuh
Jang.... Kalem wee!”, serta-merta si lincah Dikdik berbisik gusar. Rupanya
sohib satu kost di Kompleks Jalan Adung, Tarogong ini, membaca gelagat yang
terjadi. Lantas mencoba bersikap bijaksana dengan memberi semangat rekannya.
Berhasrat ingin mempromosikan temannya, maka dengan tangkas dia berkata: “Neng,
perkenalkan nih teman saya..... si Ujang. Orangnya pintar dan lincah lho. Dan,
belum punya pasangan tuh!”
Awalnya tidak ada respon
dari si ABG. Namun akhirnya si jelita tersebut menjawab acuh tak acuh: “Punten
nya. Bapak mau bicara sama saya?” Dia memandang heran seperti melihat makhluk
asing, lantas melanjutkan sembari mengerutkan keningnya: “Ada apa pak?”
Tanggapan si cantik membuat lunglai fansnya. Ujang dan Dikdik hanya tertegun
sembari menelan ludah yang menggenang di mulutnya. Kemudian suasana angkot
menjadi senyap tanpa makna.
Ketika angkot mulai
memasuki daerah kota, suasana di dalam angkot jadi gempar. Karena tiba-tiba
saja berkelebat sebuah bau yang sangat menyengat. Bau tersebut telah
membuyarkan segenap lamunan penumpang. Tidak salah lagi, bau tersebut semacam
bau gas busuk yang membuat hidung menjadi mengkerut. Mungkin sejenis H2SO4 yang
dikeluarkan dari tubuh manusia. Tapi oleh siapa? Tidak ada yang mengaku. Tidak
diketahui dari mana sumbernya, semua saling menuduh dalam hati. Dan ketika si
ABG menutup hidungnya dengan sapu-tangan, semua mata menghujat tuduhan ke arah
Ujang. Memberi kepastian bahwa bau tersebut tentunya berasal tokoh utama kita.
Apalagi ketika si awewe memiringkan tubuhnya kearah si kaca mata dan menjauhkan
diri dari Ujang. Hal ini tentu saja membuatnya naik pitam.
Dalam galau gelisah
yang memalukan itu, terbersit sinar mata memelas di wajahnya yang bulat jeruk.
Sungguh malang posisi si Ujang. Tapi situasi tidak berpihak padanya, malahan
semakin runyam. Si ABG semakin pucat, karena bau tersebut tidak kunjung sirna.
Suasana semakin tidak karuan. Entah apa yang dimakan oleh si pelaku kali ini,
menciptakan bau yang sangat pahit. Bagi Ujang sendiri tentunya hal ini sangat
traumatis. Niat agar si ABG jatuh hati tidak kesampaian, malahan kini dia resmi
jadi tersangka sebagai biang kentut. Alamaaaaak... Awak semakin terpuruk.
Yosep yang tadinya
terlihat terkantuk-kantuk, rupanya sejak semula sudah memonitor kejadiannya.
Dia hanya senyum-senyum kecil saja. Sepertinya memahami apa yang terjadi atau
mengetahui siapa biang keroknya. Ataukah dia sendiri pelakunya? Tetapi tidak
mungkin, karena dia duduk di tengah. Arah angin tentunya berasal dari pintu
masuk. Dan bau tersebut telah memenuhi setiap inchi ruang angkot.
Semua penumpang
berusaha bersikap tenang, memikirkan alibi terbaik dan berupaya jadi detektif
ala Hercule Poirot. Hingga akhirnya, terdengar suara si pria trendy menyuruh
berhenti: “Kiri, Pir...” Sebelum pria tersebut melompat turun, tiba-tiba saja
Yosep berteriak nyaring: “Tunggu Pak Sopir.... Tuh, yang kentut tadi belum
bayar.”
Secara spontan dan
diluar dugaan, si pria gagah berkaca mata hitam itu lantas menjawab mantap:
“Sudah kok!”
Lalu terdengar derai
tawa segenap penumpang.... Amboi, kena lu anak muda. Dan, si Ujang pun bergumam
lega: “Selamat urang.... euy!”
~